"Dedicated to My Big Love"

Perbandingan Profesionalisasi Militer

Di Indonesia dan Thailand

Latar Belakang Masalah

“Apapun Bisa Dilakukan Oleh Militer,

Kecuali Mendirikan Bayonet dan Duduk Di Atasnya”

Kutipan di atas adalah ucapan almarhum Jendral Napoleon Bonaparte, dipilih untuk menggambarkan sejarah dan perkembangan militer dalam konteks pertahanan dan keamanan di Indonesia dan Thailand. Militer di Indonesia dan Thailand dalam sejarahnya tidak pernah satu fungsi (apapun bisa dilakukan). Di Indonesia, yang secara doktrinya dikenal sebagai “jalan tengah” seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Jendral Besar Abdul Haris Nasution di tahun 1950-an yang kemudian berkembang menjadi Dwi Fungsi ABRI sebagai hasil Seminar II Angkatan Darat 1966, yang melegitimasi peranan militer di luar pertahanan, tetapi juga peran keamanan, sosial, politik, kebudayaan, bahkan olah raga.

Para penulis klasik tentang masalah perang, baik para negarawan maupun kaum revolusioner terkemuka pada abad ke-20, sama-sama mengakui adanya kontrol sipil terhadapa militer. Jendral Von Clauzewitz, seorang Shakespeare dalam kepustakaan tentang militer misalnya, seratus lima puluh tahun yang lampau telah menulis[1]:

Subordinasi pandangan politik terhadap militer sangatlah tidak masuk akal, karena sesungguhnya politiklah (yang) menciptakan…perang. Politik adalah bagian dari kemampuan memutuskan, sedangkan perang hanyalah semata-mata sebuah alat dan bukan sebaliknya. Subordinasi dari pandangan militer terhadap politik, dengan demikian, adalah satu-satunya hal yang mungkin.

Tidak ada kelompok politik yang lebih baik daripada kaum Marxis dalam mengapresiasi peranan kekerasan dan Angkatan Bersenjata (militer) dalam menagani urusan-urusan negara. Namun, para revolusioner Marxis sangat cermat melakukan kontrol terhadap alat-alat kekerasan itu. Mereka mampu menentukan tingkat dan hakikat kekerasan yang hendak mereka pakai itu.

V.I. Lenin dengan cepat mencatat dictum Clauzewitsz bahwa “perang pada hakikatnya adalah politik yang dilanjutkan dengan cara lain”. Sebagaimana dikatakan oleh Lenin sendiri[2], “Kaum Marxis harus berpegang pada aksioma ini sebagai dasar pemaknaaan teoritis dari setiap perang”. Dasar strategi operasional sipil-militer dalam Revolusi cina olej Mao Tse Tung dituangkan dalam istilah “politik yang terkomando”. Mao menyatakan bahwa “Prinsip kita adalah bahwa partailah yang harus memerintah senapan, dan senapan tidak akan pernah boleh memerintah partai”[3]. Para negarawan seperti Clemenceau, Lloyd George, Churchill, dan Kennedy telah mengkaji bahwa perang adalah urusan yang terlalu serius untuk diserahkan kepada prajurit.

Dengan jelas, Goodman[4] mengatakan tugas utama dari angkatan bersenjata (militer) keamanan negara dari ancaman eksternal-fungsi pertahanan. Dalam bahasa yang lebih tegas Soekarno mengatakan, “padahal angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik”

Namun demikian, Militer di Indonesia dan Thailand dalam sejarahnya pernah mengambil peran yang dominan dibidang politik, sosial dan ekonomi. Militer di kedua negara tersebut pernah mengontrol negara, mengintervensi politik, bahkan pernah terbentuk Rezim Militer, yang tentunya ini mengingkari Pemerintahan Sipil-supremasi sipil terhadap militer dan kontrol sosial terhadap Angkatan Bersenjata. Sesungguhnya tidak hanya Indonesia dan Thailand saja yang Militernya pernah menguasai negara, banyak negara baru yang lahir dari kolonisasi telah jatuh ke tangan pemerintahan militer pada akhir 1950-an dan 1960-an.

Beberapa ilmuwan sosial terkemuka bahkan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tahapan awal untuk melakukan modernisasi dan pembangunan politik yang akhirnya menghasilkan pengambilalihan kekuasaan oleh militer. Pengambilalihan kekuasaan itu sendiri tampaknya akan memberikan keuntungan pada negara-negara tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan teoritik yang demikian ini melihat bahwa militer sebagai kekuatan yang sangat modern, yang mampu mengalihkan ketrampilan organisasial dan teknik mereka miliki ke dalam bidang pemerintahan dan administratif[5].

Di Indonesia, Militer mengambilalih kekuasaan sipil (kudeta) telah dilegitimasi oleh Buku Putih tentang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh)-G30S/PKI- yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Tragedi 1965 adalah petualangan (advonturisme) politik PKI yang melibatkan apa yang disebut sebagai “perwira progressif” (perwira berpikiran maju) yang telah dibina oleh Biro Chusus PKI dalam rangka KKM (Kerja di Kalangan Musuh) sebagai bagian dari praktek MKTB (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan). Soeharto dan Angkatan Darat terutama sekali RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat)-sekarang menjadi KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus) dan KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat)-adalah penyelamat yang kemudian mengantar Soeharto diangkat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan mendapatkan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) dari mendiang Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno almarhum.

Sejarah (history) tragedi 1965 versi negara/militer (his-story) dalam perkembangan banyak bukti baru yang menunjukkan bahwa tragedi berdarah dan penuh misteri tersebut melibatkan black propaganda militer (kebohongan di depan publik) dan provokasi kekerasan terhadap massa yang dilakukan militer memunculkan pembantaian massal. PKI memang terlibat seperti yang diakui oleh Sudisman-salah satu anggota Politbiro Comite Central Partai Komunis Indonesia.

Namun keterlibatan kesatuan-kesatuan militer yang mengambil bagian dalam pembunuhan para jendral dan perebutan RRI (Radio Republik Indonesia) bertindak mandiri bahkan peristiwa tersebut adalah konflik internal Angkatan Darat, khususnya Divisi Diponegoro sebagaimana yang diungkapkan oleh Benedict Anderson(Cornell Paper)[6]. Penelitian-penelitian lain juga telah berhamburan yang menunjukkan aktor-aktor lain di balik atau di luar Untung, Dul Latief, Suparjo, dan D.N. Aidit beserta lima kamerad, misalnya Soekarno, CIA (Central Inteligence Agency), bahkan pribadi Soeharto sendiri. Yang pada intinya teks Buku Putih G30S/PKI versi Militer tetap harus dikritisi dan tentara mesti melakukan kritik-otokritik atas keterlibatannya dalam tragedi berdarah tersebut.

Dampak dari pemalsuan sejarah ini adalah munculnya negara dan masyarakat tanpa kesadaran dan kritisisme, diperlemahnya supermasi sipil atas militer, sehingga soal pertahanan yang merupakan kebutuhan publik (public goods) yang harus menjadi kebijakan publik (public policy) yang diselenggarakan negara, 100% dibawah dominasi dan hegemoni militer dalam perkiraan ancaman dan perencanaan strategisnya[7].

Dalam masa kejayaan militerisme di zaman Orde Baru, Militer di Indonesia banyak sekali mengambil bagian dalam kehidupan politik. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)-sekarang menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada waktu itu merupakan satu-satunya kekuatan politik yang memegang senjata (combatan) dan mempunyai hak khusus untuk bergerak ke seluruh wilayah Indonesia untuk “membina”, kalau tidak “membinasakan” pengetahuan rakyat terhadap politik, dengan konsep masa mengambang, didukung oleh para jendral yang menjadi panglima pada tahun 1971, maka partai politik tidak diperbolehkan menggalang massa hingga ke pedesaan, dengan alasan stabilitas politik. Terlebih mereka mendapat kursi di parlemen tanpa proses pemilihan umum[8].

Selain itu, militer di Indonesia juga ambil bagian dalam kehidupan ekonomi dan bisnis. Keterlibatan militer dalam bidang perekonomian ini terkenal dengan sebutan “bisnis militer”. Kegiatan ekonomi mereka (TNI) dimulai dari yang bertaraf kecil misalnya cukong penyelundup kayu sampai bertaraf besar seperti membentuk yayasan dan perusahaan yang berorientasi profit, misalkanlah Mandala Airlines.

Sedangkan di Thailand, Angkatan Bersenjata sering melakukan kudeta secara terang-terangan. Beberapa kudeta militer di Thailand[9]:

v 1932, Raja Prajadhiphok digulingkan oleh junta militer yang dipimpin oleh Pridi Phanomyang, Mayor Phibun Sangkhram, dan Kolonel Phahon. Phrayo Manopakron ditunjuk sebagai perdana menteri (PM).

v 1933, Manopakorn membubarkan parlemen dan berkuasa berdasarkan dekrit. Ia sendiri kemudian jatuh dalam sebuah kudeta. Phahon yang pernah terlibat dalam kudeta 1932 diangkat menjadi PM.

v 1947, Kudeta militer oleh Jendral PhinChoonhavan. Luang Aphai-Wongse menjadi PM, tetapi digantikan oleh Phibun pada tahun berikutnya.

v 1951, Phibun melancarkan kudeta militer dan mengembalikan konstitusi ke versi 1932.

v 1957, Kudeta dipimpin oleh Jendral Sarit Thanarat, politisi Pote Sarasin ditunjuk sebagai pemimpin sementara pemerintahan.

v 1976, Upaya kudeta militer digagalkan pada bulan Februari. Bulan Oktober kudeta berhasil menjatuhkan PM Seni Pramoj. Admiral Sa-ngad Chaloryoo yang sebelumnya menjabat sebagai menteri pertahanan diangkat menjadi Ketua Dewan Reformasi Administratif Nasional.

v 20 Oktober 1977, Pemerintahan Thanom Kravichien yang ditunjuk pada tahun 1976 digulingkan dalam kudeta militer yang dipimpin oleh Sa-ngad. Dewan Militer Revolusioner berkuasa.

v 1 April 1981, Upaya kudeta yang dipimpin Jendral Sant Chipatima, deputi komandan angkatan darat, digagalkan oleh kekuatan yang setia kepada pemerintah.

v 9 September 1985, Upaya kudeta oleh Kolonel Manoon Roopkachorn, sejumlah perwira senior ditahan.

v 23 Februari 1991, Pemerintahan Jendral Chatichai digulingkan dalam kudeta militer tak berdarah. Kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Dewan Penjaga Perdamaian Nasional yang dipimpin Jendral Sunthorn Kongsompong.

v 19 September 2006, Militer mengambil alih kekuasaan dan membubarkan Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra, saat Thaksin dan beberapa menterinya berada di luar negeri. Pihak militer membekukan konstitusi dan menjanjikan segera mengembalikan pemerintahan ke demokrasi setelah sebelumnya akan melakukan reformasi politik.

Perluasan peran sebuah angkatan bersenjata modern secara serius telah merusak efisisensi militer. Keprajuritan sekarang ini adalah sebuah profesi yang sangat teknis dan sangat terspesialisasi serta memerlukan latihan yang sulit dan terus-menerus. Seperti yang dinyatakan oleh Samuel Huntington, Napoleon telah menjadi symbol paling akhir dari suksesnya gabungan profesi militer dan politik. Munculnya Bismarck dan Moltke telah mengindikasikan memudarnya Napoleonis. Pada abad XX, lebih dari yang pernah ada sebelumnya, “para jenius militer lebih merupakan hasil dari kerja “ketimbang” inspirasi mendadak dan lamunan kosong[10]

Dengan berhentinya kepemimpinan Soeharto, pada bulan Mei 1998, Indonesia dapat dikatakan sedang memasuki periode transisi yang diwarnai oleh ketidakpastian. Banyak pihak berharap bahwa Indonesia dapat segera memasuki sebuah era baru di mana kehidupan politik akan bergerak menjadi semakin demokratis.

Hubungan sipil-militer dalam hal ini lebih kongkretnya profesionalisme militer merupakan salah satu kunci bagi tercapainya kepastian transisi kearah demokrasi ini, dan pada gilirannya, tercapainya kepastian akan masa depan politik dan ekonomi bangsa. Di satu sisi, semangat reformasi mendorong kekuatan-kekuatan sipil untuk memainkan peran politik yang lebih besar, terutama dalam menciptakan masyarakat yang demokratis.

Lebih dari satu dekade, Konsep Thailand tentang pertahanan telah berubah. Akhir perang dingin, perubahan lingkunan regional, dan kemunculan masyarakat sipil telah membentuk kembali Nature of Security Thailand secara berangsur-angsur. Dari tahun ke tahun, konsep pertahanan Thailand telah ditingkatkan yang meliputi tidak hanya keamanan militer tetapi juga ekonomi dan juga isu-isu sosial yang lain.

Prioritas baru Thailand dan Security Concern secara meningkat mendikte pendekatan baru terhadap militer Thailand. September 1997, parlement Thailand menyetujui sebuah konstitusi baru yang memaksa akuntabilitas dan transparasi, terutama sekali di birokrasi Thailand. October 1999, Departemen Pertahanan di Kementrian Pertahanan-Ministry of Defence (MoD) menyetujui sebuah master plan untuk mereformasi MoD dan restruktrurisasi Angkatan Bersenjata Thailand. Tujuan utama dari master plan itu adalah menciptakan suatu Angkatan Bersenjata yang lebih kecil tetapi lebih professional dengan efisiensi dan transparasi yang lebih tinggi dalam administrasi mereka[11].

Pokok Permasalahan:

“Bagaimana proses profesionalisme militer di Indonesia dan bagaimana proses profesionalisme militer di Thailand?

Kerangka Dasar Teoritik

Samuel P. Huntington; Military Professionalism-Profesionalisme Militer

Samuel Huntigton mengamati bahwa di negara industrial yang demokratis, hubungan sipil militer telah ditandai/dikarakterisasikan dengan suatu pengakuan yang tinggi terhadap profesionalisme militer, subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik-peminpin sipil, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik-peminpin sipil atas peran dan wewenang militer, dan minimalisasi peran/intervensi militer dalam politik

The civil-military relationship have been characterized by a high degree of military professionalism, effective military subordination to civilian leaders, recognition by civilian leadership of the military’s role and competence, and minimization of the political role of the military[12].

Huntington juga melihat ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam militer yang professional:

“1. Keahlian. Dalam kamus, ahli (expertise) adalah apabila seseorang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan di bidang tertentu (pengetahuan diperoleh dari lembaga pendidikan dan ketrampilan diperoleh dari lembaga profesi) dengan kata lain profesional diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.
2. Tanggung Jawab Sosial (Social responsibility). Tanggung jawab sosial seorang profesional dalam arti luas bahwa profesional militer adalah tanggung jawabnya perlindungan terhadap masyarakat dan negara. Client dari para profesional adalah masyarakat, untuk militer tanggung jawabnya adalah melindungi masyarakat.
3. Kelompok / Lembaga (Corporateness). Kesadaran dan loyalitas anggota militer bahwa mereka adalah anggota dari suatu kelompok/lembaga. Kunci dari profesi militer adalah kontrol dan ketrampilan. Secara organisatoris kontrol terhadap profesionalisme militer yang dilakukan dalam dua tingkatan. Pertama, para kolega mengamati (mengawasi) kerekatan (kohesi) di antara para perwira sebagai profesional dan anggota suatu kelompok sosial. Kelompok ini akan selalu mengamati apakah perilaku anggota militer, baik prilaku pribadi maupun sebagai profesional, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kedua, kontrol eksternal adalah hirarki komando. Perilaku dan kecakapan profesional dinilai dari ketaatannya terhadap perintah atasan. Dengan demikian jelas bahwa semakin tinggi tingkat keahlian, seorang militer semakin tinggi tingkat profesionalismenya dalam arti lain menurut Huntington, semakin tinggi tingkat profesionalisme militer harus semakin jauh dari politik. Militer yang profesional harus selalu siap sedia
melaksanakan putusan politik yang dilakukan oleh politisi sipil dan yang mempunyai legitimasi politik.”

Dalam kenyataannya, di banyak negara, Huntington mencatat bahwa ada rezim-rezim militer, kediktatoran personal yang berusaha untuk membelah dan mengkontrol militer, atau negara/pemerintahan satu partai di mana militer merupakan suatu instrument dari partai. Bagaimanapun, Huntington juga mencatat bahwa ada sekitar 40 negara di dalam fase transisi menuju demokrasi lebih dari dua dekade yang kekuatan politik militer dan kecendurangan ke arah intervensionisme telah merosot, transparasi mereka di kebijakan pertahanan telah meningkat, parlemen yang lebih besar telah dibentuk, Sipil-isasi (civilianization) Kementrian Pertahanan telah terjadi, dan akhir dari peran keamanan dalam negeri angkatan bersenjata (internal security role of armed force) telah terjadi[13].

Definisi Konsepsional

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan teoritisnya sudah jelas biasanya diketahui dari fakta dan gejala yang menjadi pokok penelitian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta-fakta gejala itu.

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas Berikut ini adalah definisi-definisinya

1. Profesionalisme secara umum terminologinya adalah mutu, kualitas, dan perilaku/tindak-tanduk yang merupakan cirri suatu profesi atau orang-lembaga yang professional.

2. Militer adalah organisasi-lembaga pemerintah sebagai angkatan perang, serdadu, tentara, prajurit berfungsi sebagai alat pertahanan. Merupakan suatu kelompok orang-orang yang di-organisir dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.

3. Profesionalisme Militer adalah Militer yang mengembang tugas utamanya menjaga kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan, yang tidak mencampuri urusan atau wilayah politik sipil.

Definisi Operasional

Definisi Oprasional adalah merupakan petunjuk bagaimana suatu konsep dapat diukur dengan adanya indikator-indikator tertentu, berikut ini adalah indikator-indikator dari masing-masing variable:

1. Profesionalisme

a) Profesionalisme sebagai perilaku-tindak tanduk yang mencirikan profesi atau orang/lembaga yang professional.

b) Profesionalisme dijabarkan dengan pembagian kewenangan dan tugas-tugasnya.

2. Militer

a) Militer sebagai organisasi pemerintah yang menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan.

b) Militer diperbedakan (combatant) dengan masyarakat sipil (non combatant).

3. Profesionalisme Militer

a) Militer mengemban misi utama atau berfungsi sebagai alat pertahanan, menjaga kedaulatan negara.

b) Militer tunduk pada supremasi sipil dan tidak mencapuri urusan politik sipil.

Hipotesa-Jawaban sementara

Proses profesionalisasi militer di Indonesia dimulai pasca tumbangnya Rezim Soeharto, kemuadian muncul Tap MPR VI dan VII tahun 2000 secara legal-politis yang mencabut Dwi Fungsi ABRI (dua fungsi ABRI: fungsi pertahanan dan politik). Diikuti rangkaian tindakan nyata reformasi internal. Dokumen politik ini meletakkan dasar baru pengembangan TNI professional. Kemudian muncul Undang-Undang TNI tahun 2004, Pasal 76 menghapuskan kegiatan bisnis militer.

Proses profesionalisasi militer di Thailand dimulai ketika pada bulan September 1997, parlemen Thailand menyetujui sebuah konstitusi baru yang memaksa akuntabilitas dan transparasi, terutama sekali di birokrasi Thailand. October 1999, Departemen Pertahanan di Kementrian Pertahanan-Ministry of Defence (MoD) menyetujui sebuah master plan untuk mereformasi MoD dan restruktrurisasi Angkatan Bersenjata Thailand. Tujuan utama dari master plan itu adalah menciptakan suatu Angkatan Bersenjata yang lebih kecil tetapi lebih professional dengan efisiensi dan transparasi yang lebih tinggi dalam administrasi mereka

Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pustaka. Sumber-sumber pustaka meliputi Profesinalisme militer, perkembangan militer di Indonesia dan Thailand, maupun perkembangan demokrasi di kedua negara. Adapun pencarian data-data yang diperlukan tersebut dari buku, jurnal, media massa, dan internet.

Pembuktian

Sesungguhnya di Indonesia, istilah Reformasi militer lebih popular daripada Profesionalisme militer, baik di kalangan masyarakat awam maupun kalangan akademisi. Sejak digulirkannya reformasi TNI pada tahun 1998, TNI telah melakukan 22 langkah perubahan. Di antara perubahan yang penting adalah keseriusan TNI untuk tidak lagi terlibat dalam aktivisme politik praktis, menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol.

Ada beberapa tahapan dalam proses profesionalisme militer di Indonesia Secara garis besar, ada tahapan dalam proses profesionalisme militer sejak bergulirnya era reformasi:

Pertama, periode 1999-20 April 2001. Dimulai dengan mengemukannya Paradigma Barus Sosial Politik TNI. Tawaran ini masih kental dengan nuansa politik di mana ABRI masih mengkehendaki kekuatan politik, kedua, tahap redifinisi, reposisi, dan reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa yang dimulai tahun 2001, di mana terjadi perubahan doktrin dan struktur organisasi. Intinya adalah sejauh mana TNI melakukan perubahan doktrin sesuai dengan perkembangan demokratisasi di Indonesia. Ironisnya pembangunan kekuatan TNI dalam doktrin ini tidak dilandasi sifat dan bentuk yang jelas karena belum adanya grand strategy di bidang pertahanan. Ketiga, Tahap Implementasi Paradigma Baru TNI di Periode kekinian, terutama setelah disahkannya UU no. 34 tahun 2004. Di mana UU ini menjadi payung hukum yang sah dalam berjalannya peran TNI yang diharapkan.

Beberapa capaian yang telah diraih selama periode ini antar lain:

· Likuidasi staf Komunikasi Sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No 21/VI/2005.

· Netralitas TNI dalam Pilkada 2004 (Hasil Rapim TNI, Telegram Rahasia No STR/527/2004, Buku Pedoman Netralitas Pemilu 2004).

· Persiapan Penghapusan bisnis militer (meski masih menyisakan pekerjaan rumah)

· Keputusan harus pensiun terlebih dahulu sejak tahap penyaringan bagi prajurit TNI yang akan ikut Pilkada. (Keputusan Panglima TNI melalui Skep/384/2003, namun pada tahun 2004 terjadi kontroversi karena panglima TNI membolehkan TNI mencalonkan diri dalam Pilkada, sehingga pada tahun 2005 Panglima TNI megeluarkan telegram No STR/2002/2005 yang substansinya menegaskan keharusan adanya surat pengunduran dari dinas aktif, tidak menggunakan asrama dan fasilitas TNI untuk kampanye dan sikap netral dalam Pilkada. Seluruh keputusan di atas dicabut dengan keluarnya telegram Panglima TNI No STR/546/2006 tanggal 22 Agustus2006 tentang perubahan tata cara pelaksanaan Pilkada bagi anggota TNI).

· Pengesahan Doktrin TNI.

Capaian yang ada, masih belum memadai untuk mewujudkan keamanan sebagaimana digariskan oleh konstitusi, terutama jika bertolak dari prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap HAM yang harus dipenuhi antara lain,

I. Tertatanya ketentuan perundang-undangan berdasarkan the rule of the law.

II. Terbangunnya kemampuan pengembangan kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan keamanan (defense and security planning.

III. Kemampuan dan efektivitas pengawasan.

IV. Pengelolaaan anggaran yang logis dan proporsional.

V. Terselesaikannya kasus pelanggaran HAM.

Beberapa agenda Reformasi TNI yang masih harus dilaksanakan yakni:

I. Penuntasan pengambilalihan bisnis TNI, sebagai konsekeunsinya, pemerintah perlu menyiapkan alokasi dana tambahan APBN guna meningkatkan kesejahteraan anggota TNI.

II. Melanjutkan Reformasi Peradilan Militer, dengan adanya keterbukaan peradilan militet dan selesainya RUU Peradilan militer.

III. Perombakan doktrin pendidikan TNI menuju arah yang lebih professional yang nantinya akan menentukan model kepemimpinan TNI di masa depan. Model ini untuk menjawab Paradigma Baru Peran TNI yang menyatakan bahwa TNI akan memusatkan diri pada tugas pokok pertahanan.

Sejumlah fakta sebelum dan sesudah lahirnya UU TNI

Pengertian TNI professional menurut UU TNI

Fakta sebelum lahirnya UU TNI

Fakta sesudah lahirnya UU TNI

Tidak Berpolitik

Aktif terlibat dalam pelbagai peran sosial, politik, dan ekonomi, menempati jabatan-jabatan di lingkungan pemerintahan sipil serta Parlemen.

Bisa duduk di Kementrian Politik dan Keamanan, Departemen Pertahanan, BIN, dan Badan Narkotika Nasional. Prajurit TNI aktif dapat mencalonkan diri dalam Pilkada dan akan dinonaktifkan sementara dari dinas militer, bila menang dipensiunkan, jika kalah kembali berdinas.

Tidak Berbisnis

Masing-masing Angkatan dan Mabes memiliki bisnis sendiri-sendiri, dengan alasan ketidakmampuan negara membiayai dan memenuhi kebutuhan minimal militer dan untuk kesejahteraan prajurit.

Bisnis-bisnis resmi militer mulai bermetamorfosis dengan berbagai macam rupa, dikelola oleh pihak ketiga, sementara bisnis-bisnis non yayasan dan koperasi belum mendapat perhatian.

Menghormati HAM

Terlibat dengan sadar dalam pelbagai pelanggaran HAM, termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terutama dalam menghadapi resistensi public terhadap Rezim ORBA dan separatis. Kasus-kasus masa lalu relative belum dipertanggungjawabkan melalui mekanisme hukum yang adil dan akuntabel.

Aparat TNI terutama di daerah-daerah masih terlibat dalam pelanggaran HAM meskipun intensitasnya menurun dibandingkan pada masa lalu, tapi sulit untuk dijangkau proses hukum yang adil dan akuntabel.

Patuh pada Hukum Nasional dan Hukum International

Hukum Internasional dan Hukum Nasional dapat diabaikan bila bertentangan dengan kepentingan ‘negara’, cenderung tidak menjadi ukuran profesionalitas, serta dianggap penghambat dari kepentingan pemerintah yang dikawal TNI.

Adanya pembangkangan terhadap UU Pengadilan HAM yang terlihat dari sikap para purnawirawan dan anjuran Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono supaya para purnawirawan TNI yang diduga terlibat pelanggaran HAM tidak memenuhi panggilan Komisi Nasional.

Semenjak Militer Thailand sangat dominan di dalam masyarkat dan dunia politik Thailand selama beberapa dekade, para pemimpin sipil Thailand cenderung menggambarkan dan mengukur profesionalisme militer dalam kaitannya dengan keterlibatan militer di dalam politik. Sesungguhnya, mereka mengukur profesionalisme militer seperti yang telah digariskan oleh Samuel P.Huntintong. Sebagai contoh, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Chuan Leekpai, yang menjadi pemimpin sipil pertama secara langsung terlibat dalam reformasi formal Militer Thailand selama 1997-2001, isu yang muncul adalah Militer Thailand meningkatkan transparansi, memusatkan proses pengadaaan persenjataan dan logitik militer pada level kementrian, privatisasi unit-unit dan tugas-tugas yang terseleksi, reformasi system cadangan (komponen cadangan-wajib militer). Sesungguhnya, PM Chuan menggarisbawahi alasan-alasan untuk mereformasi militer yang bertujuan membuat militer Thailand menjadi suatu Tentara Profesional[14].

Di bawah pemerintahan Thaksin Shinawatra, pemerintahan diemban mandate oleh hukum (Bureaucracy Reform Legislation 2002) untuk mereformasi semua birokrasi di dalam jangka waktu 2 tahun (Oktober 2004), termasuk angkatan bersenjata Thailand.

Di tubuh angkatan bersenjata Thailand, pada tanggal 23 Oktober 2007, Departemen Pertahanan Thailand menyetujui sebuah master plan untuk mereformasi the Ministry of Defence (MOD) dan restrukturisasi angkatan bersenjata Thailand. Master Plan itu telah lama dinanti dan diharapkan mampu merubah wajah militer Thailand dalm waktu lebih dari 100 tahun[15]. Dan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi administrasi MoD, mengecilkan sruktur angkatan bersenjata, dan mendukung reformasi birokrasi yang telah dimandatkan oleh hukum. Dalam mereformasi administrasi MoD, prioritas tinggi diberikan untuk suatu sistem administrasi yang lebih menyattu/terpusat, kesatuan rantai komando, efisensi dan transparansi di dalam administrasi, dan kombinasi sumber daya dan kemampuan. Dalam restrukturisasi Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand (the Royal Thai Armed Forces), fokusnya adalah tentang postur pertahanan, kesiapan tempur, militer yang lebih responsive dan fleksibel, dan suatu sistem baru komponen cadangan. Semua tujuan ini hendak menciptakan a suatu angkatan bersenjata yang lebih modern dan professional, dengan tugas utama pertahanan negara dan tugas-tugas lainnya yang dimandatkan oleh konstitusi.

Rencana reformasi diteruskan di dalam 3 fase yang lebih dari 12 tahu. Fase pertama, dalam 2 tahun pertama, fase kedua, diperluas dalam 5 tahun, dan fase terakhir juga dalam waktu 5 tahun. Rencana itu diharapkan dievaluasi dan ditinjau kembali di setiap tahap. Keseluruhan, rencana itu juga akan mengurangi lebih dari 72.000 personel. Dan juga untuk menciptakan suatu structure yang menyatu di antara tiga divisi utama: the Office of Defence Permanent Secretary, the Supreme Command, dan ketiga matra angkatan (AU, AL, AD).

Hasil-hasil dari reformasi itu tidak impresif. Meskipun berbagai kemajuan telah dibuat. Sebagai contoh, ada kemajuan di dalam privatisasi di bidang bisnis militer (perusahaan militer). Juga ada beberapa reorganisasi structur di unit yang lebih tinggi di Kementrian dan angkatan bersenjata. Teapai pengurangan actual terhadap posture angkatan bersenjata tidak efektif. Lebih khusus, reduksi di dalam level atas (pejabat teras) angkatan bersenjata tidak mengalami kemajuan, dan program pensiun dini tidak berjalan. Sesungguhnya, ada ketidakpastian masa depan reformasi semenjak pemerintahan Thaksin berkuasa. Hal itu telah diamati bahwa reformasi Angkatan Bersenjata Thailand (Thai Armed Forces) dipukul mundur oleh kekuatan militer konservatif yang kembali mengkontrol dan pertahanan Thailand sekarang memerlukan suatu perbaikan yang baru (a new overhaul)[16]

Di antara rintangan-rintangan pentimg untuk mereformasi angkatan bersenjata Thailand di waktu yang lampau meliputi budaya militer, masalah kepemimpinan, kekosongan kerjasama di antara ketiga matra angkatan, kekurangan dukungan dari pemerintah, dan tidak adanya tekanan public. Di awal reformasi mampu untuk mendorong beberapa kesuksesan di fase awal karena ada krisis ekonomi, generasi baru panglima militer yang berkomitmen mereformasi militer, keinginan kuat dan kepemimpinan dari para pemimpin sipil. Tanpa kemajuan tambahan dalam reformasi kemungkinan untuk menjadi lebih efektif di dalam era baru peran dan tugas angkatan bersenjata Thailand sungguh terbatas.

Terlebih pada tahun 2006 militer Thailand di bawah Sonthi Bonyaratkalin meng-kudeta Thaksin, hal ini menyebabkan proses profesionalisasi militer Thailand kembali melangkah mundur.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa proses profesionalisasi militer di Indonesia berjalan lebih baik bila dibandingkan dengan proses profesionalisasi militer di Thailand.



[1] Huntington, Samuel P. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge, Massachutes. Belknap Press. 1957. Hal; 28.

[2] Earle, Edward. “Lenin, Trotsky, Stalin: Soviet Concept of War.” Dalam Makers of Modern Society, diedit oleh Edward M. Earle. Princeton: Princeton University Press. 1941. Hal; 323.

[3] Welch, Claude E., Jr. ed. Civilian Control of the Military: Theory and Case from Developing Countries. Albany: University of New York Press. 1976. Hal; ix.

[4] Goodman, Louis w. “Peran Mliter Militer Di Masa Lalu Dan Sekarang”. Dalam Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi, diedit oleh Larry Diamond dan Marc F. Plattner. Jakarta: Rajawali Press. 2001. Hal; 44.

[5] Lihat misalnya, Pye, Lucian W. “Armies in the Process of Political Modernization”. Dalam The Role of Military in Underdeveloped Countries, diedit oleh John J. Johnson. Princeton: Princeton University Press. 1962. Hal; 68-69.

[6] Anderson, Benedict R O’G. dan McVey, Ruth T. Kudeta 1 Oktober 1965; Sebuah Analisi Awal. Yogyakarta: LPKSM-SYARIKAT. 2001.

[7] Gunawan, Tentang Pertahanan di Indonesia. Jakarta: Indonesian Human Right and Legal Aid Association. 2005. Hal; 8.

[8] Aditjondro, George Junus. Dari Soeharto ke Habibie, Guru kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim orde Baru dari Soeharto ke Habibie. Jakarta: PIJAR Indonesia. 1998. Hal; 12.

[9] Kompas, 21 September. 2006.

[10] Huntington, Samuel P. “Patterns of Violence in World Politics”. Dalam Changing Patterns of Military Politics. New York: Free Press of Gleonce. 1962. Hal; 114.

[11]Wattanayagorn, Panitan. The Thai Military in the New Era. Chulalonkorn: Chulalongkorn University. 2006. Hal; 2.

[12] Samuel P. Huntington, A keynote address in a conference on “Civil-Military Relations and the

Consolidation of Democracy.” Organized by the National Endowment for Democracy’s International

Forum for Democratic Studies and the George C. Marshall European Center for Security Studies.

13-14 March 1995, Washington D.C.

[13] Ibid.

[14] Julian Gearing and Roger Mitton, “The Military Must

Reform,” Asiaweek (19 November 1999), Vol 25, No 46.

(http://www.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/magazine/ 99/1119/nat.thai.chuan.html)

[15] Prakobpong Panapool, “Military will look leaner and meaner: Biggest

remake in over 100 years,” The Nation 4 January 2000, hal; 1 and Don Pathan, “Slimmed-down force

to meet new challenges,” The Nation 4 January 2000, hal; 1

[16] Shawn Crispin and Rodney Tasker, “Thai Defence Chiefs March Out of Steps,” Far Eastern

Economic Review, (13 September 2001): 16-19 and Kanjana Spindler, “Defence spending needs

overhaul,” Bangkok Post, (16 July 2003), hal; 4

0

Tambahkan komentar

Memuat